Kamis, Oktober 25, 2007

Gunakan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Melakukan Inventarisasi Hutan Di Indonesia

Sudah sejak tahun 1993 LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) mengoperasikan Stasiun Bumi Penginderaan Jauh di Parepare, Sulawesi Selatan. Sampai saat ini stasiun bumi tersebut menerima dan merekam data-data satelit penginderaan jauh resolusi menengah seperti MODIS, resolusi tinggi seperti Landsat 7 dan SPOT 2 & 4. Dari data-data tersebut dapat dihasilkan peta citra satelit (space map) dengan berbagai skala. Peta-peta citra satelit tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung luas hutan di Indonesia baik skala global maupun skala rinci. Disamping itu, dengan data MODIS dapat dilakukan deteksi dan pemantauan kebakaran hutan. Sedangkan untuk memetakan kawasan bekas kebakaran hutan dapat dilakukan dengan data Lansat 7 untuk tingkat propinsi atau dengan data resolusi yang lebih tinggi seperti SPOT 5 atau ALOS untuk tingkat kabupaten.

Komunikasi Nasional

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1994 melalui Undang-Undang No. 6/1994. Sesuai dengan konvensi tersebut Indonesia harus menyiapkan komunikasi nasional (National Communication) yang pertama dalam kurun waktu 3 tahun setelah ratifikasi. Pada bulan November 1999, tepatnya pada pelaksanaan Conference of Parties V (COP V) di Bonn, Jerman, pemerintah Indonesia secara resmi menyerahkan Komunikasi Nasional Pertama.

Komunikasi Nasional merupakan laporan resmi negara yang telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim yang berisikan berbagai upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Satu bagian terpenting dari komunikasi nasional adalah hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca (GRK). Metoda yang digunakan untuk melakukan inventarisasi GRK adalah metoda IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Kalau dicermati beberapa konstanta (default value) yang digunakan dalam perhitungan tidak cocok diterapkan di negara tropis seperti Indonesia. Namun karena waktu itu di Indonesia belum ada riset yang mengembangkan metode inventarisasi GRK yang sesuai untuk Indonesia, maka metoda yang ada terpaksa digunakan untuk kondisi Indonesia.

Inventarisasi GRK

Inventarisasi GRK adalah perhitungan jumlah gas-gas rumah kaca yang diemisikan oleh berbagai sumber emisi (sources) dan yang bisa diserap oleh rosot (sink). Sumber-sumber emisi GRK yang diperhtiungkan terdiri dari lima sektor yaitu energi dan transportasi, proses industri, pertanian, kehutanan dan perubahan tata guna lahan, dan penimbunan sampah terbuka (land fill). Dari sektor energi-transportasi dan proses industri, emisi GRK yang dihitung berasal dari penggunaan bahan bakar fosil. Dari sektor pertanian emisi GRK berasal dari lahan sawah yang digenangi air (mengeluarkan gas metan) dan penggunaan pupuk, baik pupuk kimia maupun pupuk organik. Untuk penimbunan sampah emisi GRK (gas metan) berasal dari proses pembusukan sampah. Sedangkan dari sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan, selain menghitung emisi GRK (terutama CO2) yang berasal dari penebangan hutan dan kebakaran hutan, juga dihitung penyerapannya oleh vegetasi hutan. Jadi hanya keberadaan hutanlah yang mejadi penyeimbang terhadap emisi GRK. Sebenarnya laut juga bisa menyerap CO2, tetapi tingkat penyerapan oleh laut tidak diperhitungkan dalam inventarisasi GRK. Oleh karena itu sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terluas kedua setelah Brazil, sepantasnya kita dapat menyajikan secara akurat luas hutan Indonesia yang sebenarnya. Berapa luas hutan yang sudah dikonversi menjadi perkebunan, berapa luas hutan yang terbakar, dan berapa luas hutan yang menjadi padang rumput dan alang-alang?

Gunakan Teknologi Penginderaan Jauh

Untuk menjawab pertanyaan di atas sebenarnya sudah tersedia teknologi yang bisa digunakan yaitu penginderaan jauh. LAPAN yang sudah sejak tahun 1993 mengoperasikan Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh di Parepare, Sulawesi Selatan, sudah menerima dan merekam berbagai jenis satelit penginderaan jauh mulai dari resolusi menengah seperti MODIS hingga resolusi tinggi seperti Landsat 7, SPOT 2 dan 4. Data-data tersebut pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk menghitung luas hutan di Indonesia. Untuk skala global dapat menggunakan data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terdapat pada stelit Terra dan Aqua dengan resolusi spasial antara 250 m (untuk band 1 dan 2), 500 m untuk band 3 – 7) dan 1000 m (untuk band 8 – 36). Dengan resolusi spasial 250 m dapat dibuat peta citra satelit dengan skala 1:1.000.000, yang dapat menggambarkan kondisi hutan kita secara global. Untuk memperoleh gambaran yang agak rinci dapat digunakan data Landsat 7 dengan resolusi spasial 30 m dan dapat dibuat peta citra satelit dengan skala 1:100.000 atau menggunakan data Spot 2 dan 4 dengan resolusi spasial 20 dan 10 m dan dapat dibuat peta citra satelit skala 1:50.000 dan 1:25.000. Kalau dibutuhkan gambaran yang sangat detail, sebenarnya saat ini tersedia data satelit dengan resolusi spasial sangat tinggi IKONOS dan Quikbird sehingga bisa menghasilkan peta citra satelit berskala 1:5000 dan 1:3000. Namun harga citra kedua jenis satelit tersebut masih sangat mahal. Alternatifnya adalah menggunakan data SPOT 5 dengan resolusi spasial 2.5 m. Kalau mau yang lebih murah lagi bisa menggunakan data ALOS (Advanced Land Observation Satellite). ALOS dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial 2.5 m, sehingga dapat dibuat peta citra satelit dengan skala 1:10.000. Dengan ketersediaan data penginderaan jauh seperti itu, LAPAN dapat membantu instansi terkait yang berkompeten mengeluarkan data emisi dan penyerapan GRK di Indonesia.

Akses Jarak Jauh

Untuk melakukan inventarisasi luas hutan Indonesia memang bukan pekerjaan sederhana, dan dibutuhkan usaha bersama. Oleh karena itu menurut hemat saya, inventarisasi luas hutan bisa dilakukan secara bertahap dan bertingkat. Untuk memperoleh gambaran luas hutan secara global, dapat menggunakan data MODIS. Data MODIS selain dapat digunakan untuk menghitung luas hutan secara global, dapat pula digunakan untuk memantau tingkat kehijauan tanaman dan untuk mendeteksi dan memonitor ”hot spot” (kebakaran hutan). Saat ini data MODIS yang diterima di Stasiun Bumi LAPAN di Parepare dapat diakses dari Jakarta dengan jaringan internet (remote access). Metode seperti ini sudah diterapkan dilingkungan internal LAPAN. Dengan metode seperti ini pengguna dapat memperoleh data dan informasi yang near real time. Tahun depan Departemen Kehutanan akan memanfaatkan fasilitas akses jarak jauh seperti ini dengan menempatkan server Departemen Kehutanan di Parepare.

Selanjutnya untuk menghitung luas hutan di tingkat propinsi, bisa digunakan data Landsat 7 atau SPOT 2 dan 4. Sedangkan untuk menghitung luas hutan di tingkat kabupaten, bisa digunakan data ALOS.

Dengan kepastian data luas hutan yang dihitung oleh kita sendiri, maka kita bisa menunjukkan data tandingan bila ada pihak-pihak asing yang berbicara tentang luas hutan di Indonesia.